Menggagas Pansus Haji Mendorong Transparansi
5 min readOleh: Tamsil Linrung
Jakarta, FNN – Keputusan Kerajaan Arab Saudi bahwa pelaksanaan haji tahun ini dikhususkan bagi 60.000 jamaah lokal saja, sekilas mengonfirmasi alasan pemerintah membatalkan haji. Meski sebelumnya berbagai upaya pembenaran telah ditempuh. Termasuk mentersangkakan Covid-19.
Kendati kini ada pembenaran resmi, kisruh dana haji yang mengemuka tak lantas dibiarkan mengendap. Apalagi ini isu repetitif. Selalu berulang.
Gaduh yang menyeruak membuat jemaah terusik. Gelisah mempertanyakan dana haji. Jika tidak diselesaikan sekarang, persoalan dana haji menjadi laten dan mudah mengemuka kembali saban waktu ada masalah dalam tata laksana haji.
Apalagi sejarah berdirinya Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dilatari oleh upaya mendorong transpransi dan profesionalisme tata kelola dana milik umat tersebut. Maka polemik ini harus dituntaskan.
Kebanyakan pertanyaan yang mengemuka memang soal jaminan keamanan dana haji. Turunannya, tentang detail investasi, aliran dana, jenis proyek yang diinjeksi, manfaat investasi, dan seterusnya. Untuk menjawab problem ini, usul yang berkembang adalah audit investigatif.
Demi merawat kepercayaan rakyat, seharusnya pemerintah menganggukkan kepala. Pemerintah harus tanggap rasa dan membuka diri, membuktikan seterang-terangnya bahwa dana haji benar-benar aman. Jika tidak, sangat mungkin kekhawatiran masyarakat berubah menjadi kecurigaan.
Pansus Haji DPD
Setiap keputusan memerlukan pertanggungjawaban, terlebih keputusan yang mengundang kegalauan massal. Untuk kepentingan ini, pemerintah perlu diberi ruang, sehingga saya dan beberapa sejawat di DPD RI berniat menggagas Pansus Haji DPD RI.
Selain menelisik aliran dana jamaah haji, Pansus diharapkan dapat mengusut alasan pemerintah membatalkan pemberangkatan haji secara tergesa-gesa dan mendadak, apakah murni karena covid-19 atau masalah ketersediaan dana sebagaimana desas-desus yang santer terdengar.
Desas-desus itu muncul karena banyak hal. Antara lain, likuiditas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) agaknya melemah kronis. Indikatornya terasa ketika pajak mulai menyasar kebutuhan pokok rakyat. Dari beras hingga telur, dari buah-buahan hingga sayur-mayur, semua bakal kena rente.
Sebanyak 12 bahan pokok tercatat sebagai sasaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam RUU Perubahan Kelima Atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Selain bahan pokok, jasa pendidikan juga dibidik.
APBN memang digerogoti banyak pengeluaran. Yang begitu terasa adalah pembayaran bunga utang. Tahun ini saja, negara harus merogoh kocek Rp373,3 triliun buat membayar bunga utang yang menanjak 10,2 persen. Catat. Itu baru bunganya. Belum pokok utang.
Alhasil, April 2021 lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk kesekian kalinya menyatakan APBN defisit hingga Rp138,1 triliun. Ini terjadi lantaran belanja negara mencapai Rp723 triliun, sementara pendapatan negara hanya Rp585 triliun. Besar pasak daripada tiang.
Jadi, sangat wajar bila ada pihak yang menilai APBN tidak aman. Pun, wajar pula bila terbangun logika bahwa jika APBN saja tidak aman, maka investasi yang disirkulasikan dalam APBN tentu tidak dapat dijamin aman. Pada titik itulah pernyataan pemerintah bahwa dana haji aman, sangat layak dipertanyakan. Kita tahu, dana haji masuk dalam keranjang umum APBN melalui mekanisme investasi sukuk.
Sebanyak 69,6 persen dana untuk instrumen investasi atau senilai Rp 99,53 triliun. Sisanya, 30,4 persen atau Rp 43,53 triliun ditempatkan di bank syariah. Penempatan di bank syariah ini pun tidak sepenuhnya dapat dijamin aman, mengingat kondisi bank syariah di Indonesia belakangan ini juga cukup rentan.
Situasi itulah yang mengundang kekhawatiran jamaah haji. sehingga sebagian mereka menuntut penjelasan lebih detail. Usul yang berkembang adalah audit investigasi. Dengan melibatkan para pakar, Pansus Haji DPD RI adalah jalan terbaik mewujudkan itu. Syukur-syukur bila DPR RI juga berniat membentuk pansus, sehingga kita bisa kolaborasi.
Pelanggaran UU
Banyak hal yang menjadi tanda tanya khalayak dalam kisruh haji tahun ini. Selain yang disebut di atas, juga terendus praktik yang bertentangan dengan prinsip syariah. Padahal, UU No. 34 tahun 2014 mewajibkan dana haji dikelola secara syar’i.
Pada tulisan yang lain, saya menyinggung hukum syubhat dalam pengelolaan dana haji, ketika penghasilan dari kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan ajaran Islam bercampur dengan dana haji. Tapi rupanya ada yang lebih dahsyat dari itu.
Guna mengelebaui UU, agaknya syarat syar’i dipenuhi hanya sebatas kedok dengan menempelkan embel-embel penamaan bernuansa syariah. Padahal, ditengarai ada riba yang super dahsyat dalam bentuk bunga-berbunga, sebagaimana dipaparkan M. Jasin, mantan Irjen Kemenag dan mantan Komisioner KPK dalam program Hersubeno Point.
Ceritanya begini. Dana haji diinvestasikan dalam sukuk/Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Ini pada dasarnya obligasi konvensional yang berganti nama. Pergantian nama juga terlihat sistem bunga, dengan istilah baru yakni nilai manfaat atau imbal hasil. Imbal hasil SBSN didapatkan di depan sebesar 5,47 persen.
Kalau bukan riba, lalu nilai manfaat itu namanya apa? Kita tahu, investasi dalam Islam sifatnya terbuka dan fair. Kalau untung, sama-sama untung, buntung pun demikian. Artinya, imbal hasil di depan menjadi tidak relevan secara syariah. Meskipun dalam RDP dengan Komite III DPD RI, Senin 14 Juni kemarin BPKH menyampaikan bantahan atas apa yang disinyalir Pak Jasin, mantan Kommisioner KPK dan Irjen Kementerian Agama RI tersebut. Akan tetapi melalui pesan yang disampaikan ke saya, yang bersangkutan bersedia hadir memberikan penjelasan dengan informasi yang lebih kaya bila Komite III memerlukannya. Bahkan Pak Jasin menegaskan bisa dihadirkan secara gratis kapan saja.
Dalam RDP tersebut BPKH juga menyampaikan klarifikasi terkait beberapa hoax yang berkembang di tengah-tengan masyarakat diantaranya bahwa BPKH sebagai lembaga independen dan tidak dibiayai APBN secara langsung tidak melakukan penempatan dana haji pada proyek-proyek pemerintah. Akan tetapi bila penempatan pada SUKUK (SBSN) yang berarti menjadi belanja APBN maka hal tersebut di luar otoritas BPKH. BPKH tidak bisa menjamin apakah dialokasikan pada belanja infrastruktur atau pada belanja lainnya. Meskipun BPKH tidak berlepas tangan apalagi pemerintah menjamin keamanan dana haji tersebut. Penegasan BPKH ini menjadi sesuatu yang clear dengan Komite III.
Masih menurut M. Jasin, nilai manfaat secara otomatis menjadi giro di rekening BPKH. Ketika dana telah berkumpul, secara otomatis pula menjadi deposito. Dari imbal hasil sukuk tersebut masuk ke giro lagi dan sebagian menjadi deposito dengan perbandingan lebih dari 50 persen berbanding lebih dari 40 persen pada 2016. Imbal hasil atau bunga tersebut tidak hanya dari pokok uangnya tapi juga imbal hasil dari nilai manfaat tadi. Bingung? Singkatnya bunga berbunga.
Selanjutnya, masih menurut M. Jasin, ternyata ada sebagian dana haji mengalir ke bank konvensional, Bank DKI, Bank Riau Kepri, Bank Jateng, Bank BTN, Bank Bukopin, Bank Jabar, Bank Jatim, dan Bank Kaltim, dan lain-lain. Caranya bagaimana? Dengan membentuk Unit Usaha Syariah (UUS) di bank tersebut, jadilah syar’i.
Kalaulah teknis syar’i tersebut diperdebatkan, jangankan bank konvensional ini, bank syariah saja masih mengandung unsur-unsur yang debatable secara syariah. Pansus Haji DPD diharapkan dapat pula menelisik mekanisme pengelolaan dana haji secara non syariah.
Karena itu menjadi sangat penting bagi Komite III untuk dapat menghadirkan M. Jasin dan tokoh lain yang dipandang memiliki otoritas dalam memberikan masukan kepada Komite.
Hal lain yang cukup membingungkan, kita seperti kehilangan kepala negara. Presiden Joko Widodo kering argumentasi dalam kisruh dana haji. Barangkali karena presiden menganggap pemerintah telah diwakili oleh Kementerian Agama.
Namun, ketika polemik menjadi kontroversi nasional, akan sangat bijak bila presiden menengahi, menjelaskan dengan baik sebagaimana dulu di awal-awal BPKH dibentuk, presiden memberi arahan tentang potensi dana haji bagi pembangunan dengan menginvestasikannya ke (dalam istilah presiden) tempat-tempat yang memberi keuntungan besar.
Jika baru-baru ini presiden gencar berbicara dalam kasus pungli di Tanjung Priok, lalu mengapa dalam kisruh dana haji yang skalanya relatif lebih besar presiden justru pasif?
*) Penulis adalah Anggota DPD RI