Dasar Hobi, Wali Kota Bogor Ganti Nama Jalan, Masyarakat Semakin Bingung
4 min readSelain tujuh belas agustus, sepuluh November pun rupanya sudah menjadi tanggal tetap masyarakat untuk membuat agenda rutin tahunan tentang bangsanya. Contohnya Bima Arya, Wali Kota Bogor yang rupanya kembali melakukan hobinya di bulan pahlawan tahun 2021 kali ini. Tidak mau ketinggalan momentum, pada tanggal 10 november Bima Arya resmi mengganti nama Jalan Kesehatan menjadi Jalan Tirto Adhi Soerjo, selang seminggu berikutnya pada tanggal 16 november Politisi PAN ini mengganti nama Jalan Ciheuleut menjadi Jalan R.H Soelaeman A Kartadjoemana. Sebelumnya pada tahun 2017 untuk pertama kalinya Bima Arya mengganti Jalan Rumah Sakit dengan Jalan Andi Hakim Nasoetion salah seorang akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB). Lanjut tahun 2020 tepat pada momentum Hari Santri (22/10) Bima yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum DPP PAN merubah nama Jalan Darul Qur’an dengan Jalan. KH. TB M Falak yang menghubungkan Jalan Dr Semeru dengan Jalan Mayjen Ishak Djuarsa dan Jalan Letjen Ibrahim Adjie.
Perubahan nama-nama jalan tersebut, membuat warga kota Bogor bertanya-tanya terhadap langkah Wali Kotanya. Beragam komentar muncul, baik melalui obrolan warung sayur, obrolan warung kopi, sampai obrolan di dunia maya. Akun instagram @_dinihand_ mengomentari kesulitan ejaan nama jalan yang membuat dirinya pusing (@_dinihand_ kertajumena yaampun bacanya puyeng pake ejaan jadoel), ada juga akun @_imandharmasetiawan yang mempertanyakan identitas tokoh yang digunakan sebagai nama jalan tersebut, ia memplesetkannya dengan mengganti vocal O dinamanya menjadi A (@_imandharmasetiawan Tirta Adi Surya? Urang Sunda Lin? (Tirta Adi Surya? Orang Sunda Bukan?)). Itu hanya sebagian yang ikut mengomentari, belum yang nge- dumel tanpa berkomentar di akun instagram. Atau bahkan banyak yang menghiraukan pergantian nama jalan tersebut. Mungkin masyarakat akan tetap menyebutnya dengan nama jalan sebelumnya.
Hobi Bima Arya ini memang cukup dipertanyakan, motif, maksud dan tujuannya merubah kedua Jalan di Kota Bogor itu dengan nama tokoh yang mayoritas tidak dikenali oleh masyarakat kota Bogor. Atau jangan-jangan nama jalan yang menggunakan nama tokoh di Kota Bogor yang sudah lama pun masyarakat tetap tidak tahu. Seperti, Jalan Sholeh Iskandar, Jalan Abdullah bin Nuh, Jalan KS Tubun, Jalan Otto Iskandar Dinata yang dikenal dengan Otista dan banyak jalan lainnya yang menggunakan nama tokoh di Kota Bogor. Walaupun cukup disayangkan disaat masyarakat tidak memiliki pengetahuan terhadap tokoh bangsa, akan tetapi sosialisasi dan berbagi wawasan lebih menjadi tugas utama bagi mereka yang memiliki ilmu pengetahun lebih.
Persoalannya memang pelik, disaat masyarakat tidak terlalu memperdulikan nama jalan, namun hobi dan keinginan Bima Arya tetap terlaksana dengan melakukan seremonial peresmian. Sehingga selain mempertanyakan nama tokoh yang diresmikan sebagai nama Jalan, masyarakat yang memiliki kecenderungan berfikir politis memandang langkah Bima Arya sebagai langkah politis, begitupun bagi masyarakat yang memiliki kecenderungan berfikir bisnis memandang jika hobi Wali Kota Bogor ini sebagai langkah bisnis. Mari lihat bersama, apakah ada langkah politis dan bisnis yang dilakukan sosok akedemisi ini? Rupanya kita tidak tahu betul ruang itu, karena orang selalu menganggapnya sebagai hal yang sensitif, lebih baik kita berfikir positif dan mengenal siapa kedua tokoh yang dijadikan jalan tersebut.
Coba ditengok apa yang dilakukan Pemimpin Kota Hujan itu saat hari pahlawan. Seperti diungkapkan diatas, bahwa tanggal 10 november Bima Arya resmi mengganti nama Jalan Kesehatan menjadi Jalan Tirto Adhi Soerjo. Rupanya Tirto Adhi Soerjo merupakan tokoh di bidang Pers, yang dikukuhkan oleh pemerintah pada tahun 1973 sebagai Bapak Pers Nasional, lalu pada tanggal 3 November 2006, Tirto mendapat gelar sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres RI no 85/TK/2006.
Masa hidupnya memang singkat, usia Tirto hanya sampai 38 Tahun, namun karya, aktifitas, dan perjuangannya cukup dijadikan sebagai teladan dan pelajaran. Sampai seorang penulis, dan sastrawan termasyhur di Indonesia Pramoedya Ananta Toer menjadikan Tirto sebagai Idola, yang dituliskannya di novel karangan Pram sendiri yaitu Tetralogi Pulau Buru, dan Tirto dijadikan sebagai tokoh sentral dalam novel itu yang dikenal sebagai Minke.
Tirto memang bukan orang asli Bogor, ia lahir di Blora, Jawa Tengah pada tahun 1880. Akan tetapi jejak sejarah tirto di tanah pasundan cukup lama, khususnya di Bandung. Di kota kembang, Tirto mendirikan 3 surat kabar, yakni Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907) dan Poetri Hindia (1908). Medan Prijaji dianggap sebagai surat kabar nasional pertama yang terbit. Lalu pada tahun 1911 saat tirto aktif terlibat di Serikat Dagang Islam, Tirto mendirikan dan menjadi ketua Sarikat Dagang Islam di Bogor.
Penunjukan Tirto sebagai pengganti nama jalan, bukan tanpa alasan. Penggantian nama jalan ini didasari atas permohonan pihak keluarga Tirto yang bernaung di Yayasan Priatman Untuk Negeri yang diajukan pada 30 Agustus lalu, perihal permohonan penggunaan nama R.M. Tirto Adhi Soerjo sebagai salah satu nama jalan di Kota Bogor. Sosoknya sebagai Bapak Pers Nasional pun menggantikan nama yang dulunya Jalan Kesehatan menjadi Jalan Tirto Adhi Soerjo, karena di jalan tersebut terletak sekretariat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Bogor.
Pasca Jalan Tirto Adhi Soerjo diresmikan, seminggu kemudian, 16 November Bima Arya melakukan hobinya kembali merubah Jalan Ciheuleut menjadi Jalan R.H Soelaeman A Kartadjoemana. Menurut keterangan, Soelaeman merupakan pria kelahiran Purwakarta 1903 yang pernah menjabat sebagai Wali Kota Bogor ke-5 pada tahun 1952 – 1956, Kepala Daerah Kota Bogor pada tahun 1956 – 1958 dan Kepala Perumahan Kotamadya Bogor pada tahun 1958 – 1959. Ia pun merupakan salah satu tokoh berdirinya Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor, sebagai kampus Islam tertua di Kota Bogor, pada tanggal 23 April 1961 bersama beberapa tokoh ulama di Bogor, diantaranya dr. Marzuki Mahdi, KH. Sholeh Iskandar, Raden H. Soelaeman Affandi Kartadjoemena, Ir. Prijono Hardjosentono, Djunus Dali, Ir. Imam Rahardjo, R.S.A Suwigyo dan H.M Djunaedi.
Kebingungan masyarakat pada akhirnya tidak harus dipersalahkan, begitupun ketidaktahuannya terhadap sesuatu. Hobi Wali Kota Bogor yang suka mengganti nama Jalan tidak bisa juga dipersalahkan. Pada kenyataannya, hal tersebut menjadi sebuah pengetahuan baru. Disertai bulan November yang lalu sebagai bulan pahlawan, pemimpinnya dan masyarakatnya sama-sama dikenalkan dengan Tokoh yang pernah membesarkan daerahnya, sebagai bentuk balas jasa masyarakat terhadap tokoh tersebut. Kita harus adil mengatakan, bahwa hobi Wali Kota Bogor kali ini sama sekali tidak membuat masyarakat bingung melainkan teredukasi. Tapi lagi-lagi masyarakat yang selalu banyak bertanya dan menuntut haknya yang lain, selalu menuntut agar hak pendidikan anaknya terpenuhi, bantuan sosial tersalurkan dengan baik, dan membenarkan jalan yang rusak dari pada mengganti nama jalan. Yah, masyarakat benar, merekalah prioritas segalanya.
Penulis Ivan Nurdin, Direktur Ruang Rakyat Institute