Tuntutan Bharada E Semestinya Sama Dengan Ferdy Sambo
2 min readHarianjabar.com – Tuntutan hukuman 12 tahun penjara kepada terdakwa kasus pembunuhan Brigadir J, Richard Eliezer alias Bharada E dinilai jauh dari rasa keadilan. Sebab, fakta-fakta dalam persidangan menunjukkan bahwa Bharada E ikut dalam perencanaan dan secara langsung menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja. Pandangan ini disampaikan praktisi hukum, Junimart Girsang menanggapi tuntutan 12 tahun penjara Bharada E. Menurutnya, tuntutan semestinya sesuai pasal yang didakwakan yaitu Pasal 340 KUHPidana. “Kita harus melihat fakta-fakta yang terungkap di persidangan yang saling bersesuaian. Oleh karena itu tuntutannya mestinya sama dengan tuntutan terhadap Ferdy Sambo, karena Richard Eliezer telah ikut dalam perencanaan dan secara langsung menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja. Terungkap dalam persidangan bahwa Richard Eliezer menembak langsung, dan jangan lupa ada perjanjian mendapatkan sejumlah uang,” kata Anggota Fraksi PDIP DPR ini, Rabu (25/1/2023).
Menurut Junimart, perbuatan yang dilakukan Bharada yang menembak langsung beberapa kali Brigadir J tidak mencerminkan perikemanusiaan. Padahal korban adalah sahabatnya sendiri. “Terkait kejujurannya Richard Eliezer dalam mengungkap skenario yang terungkap di dalam persidangan adalah kewajibannya dan tidak ada hubungannya dengan justice kolaborator (JC). Filosofi JC itu sendiri adalah untuk melindungi jiwa yang bersangkutan dari rasa nyaman dan aman ketika ia dengan jujur mengungkap kejadian yang sebenarnya,” ujar mantan pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR itu. Terbukti dalam kasus ini, Bharada E tidak dalam keadaan overmacht dan/atau noodweer, artinya tidak ada alasan pembenaran dalam perbuatannya. Junimart menilai JPU tidak melakukan penuntutan secara maksimal dan membingungkan. Sebab, JPU menyatakan Bharada E terbukti melakukan penembakan tapi hanya menuntut 12 tahun. “Berdasarkan fakta-fakta yang kita cermati, ikuti selama persidangan, majelis hakim harus mengeyampingkan pertimbangan faktor subjektivitas di dalam memutuskan perkara ini,” kata politikus asal Dairi, Sumatera Utara itu. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga tidak boleh mengintervensi jalannya proses persidangan dan bereaksi tentang tinggi rendahnya tuntutan JPU dan keputusan Pengadilan. “Etika independensi harus dijunjung tinggi, wajib saling menghormati, tidak perlu beropini. Semua sama di muka hukum, jadikan hukum sebagai panglima,” kata Wakil Ketua Komisi II DPR ini.