Sisno Adiwinoto : Kasus Sambo Tak Bisa Dijadikan Dasar Polri Berada Di Bawah Kemendagri
3 min readHarianjabar.com – Wacana Polri di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dinilai tidak tepat. Kasus Ferdy Sambo yang mencoreng nama baik institusi tidak bisa dijadikan alasan untuk merubah sistem kepolisian Indonesia yang sudah ada. Pengamat Kepolisian Sisno Adiwinoto mengatakan, secara garis besar kedudukan Polri telah direformasi sejak keluarnya TAP MPR VI/Th 2000 dan TAP MPR VII/Th 2000. Sedangkan, pelaksanaannya mengacu pada UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. “Dapat kita pahami bahwa saat ini masalah strategis Polri sudah dapat teratasi dengan baik. Masalah strategis span of controll yang dianggap terlalu luas, bahkan terluas di dunia bisa diatasi dengan chain of command, unity of command dan prinsip-prinsip managemen lainnya,” ujar Sisno, Rabu (25/1/2023).
Menurut Sisno, masalah kedudukan organisasi dan peranan Polri telah diatasi dengan adanya kemandirian Polri yang tetap bersinergi dengan TNI dan kerja sama dengan Kementerian/Lembaga terkait. ”Keberadaan posisi Polri yang langsung di bawah Presiden sudah sangat tepat dan konstisusional,” tegasnya. Misi Polri secara universal sama dengan misi polisi di dunia yaitu fight crime, help delinquent dan love humanity yang sejalan dengan konsep negara hukum berdasarkan falsafah Pancasila, Wawasan Nusantara, Wawasan Kebangsaan dan Wawasan Keamanan Nasional (Kamnas sebagai Wawasan, bukan sebagai Undang-Undang) serta kearifan lokal masyarakat.
“Historically bahwa keberadaan Polri dengan tugas, wewenang, dan tanggung-jawabnya sebagai alat negara sudah melewati sejarah yang cukup panjang, baik secara organisatoris – struktural maupun tarik – menarik kepentingan kekuasaan, namun sampai kini Polri menjadi satu institusi yang keberadaannya tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan Sishankamrata,” katanya. Hal ini sebagaimana digariskan dalam konstitusi yang yang tercantum dalam Pasal 30 UUD 1945 yakni, pertama politik atau kebijakan hukum (legal policy) tentang pertahanan dan keamanan negara dengan jelas digariskan dalam ketentuan Pasal 30 UUD 1945. Dalam ketentuan tersebut ditegaskan tentang bangunan Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata) dengan dua komponen utama atau kekuatan utama yaitu, TNI dan Polri, sedangkan rakyat sebagai kekuatan pendukung. “Bila kita urai Sishankamrata menjadi Sishanrata dan Siskamrata, maka dalam Siskamrata Polri sebagai kekuatan utama keamanan yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum,” katanya.
Kedua, untuk melaksanakan ketentuan Pasal 30 UUD 1945 terbit UU No.2/2002 tentang Polri, UU No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara, dan UU No. 34/2004 tentang TNI, di mana ketiga undang-undang tersebut merupakan UU Organik, yaitu UU yang terbit atas perintah UUD 1945. Penasihat KBPP Polri ini menjelaskan, Polri berdasarkan UU No. 2 tahun 2002 dinyatakan sebagai alat negara yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden sebagai head of state, dengan tugas wewenang memelihara dan menjaga keamanan dan ketertiban, menegakkan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Meskipun kewenangan Polri luas dan besar sebagai konsekuensi dari luas, berat dan kompleksnya tanggung jawab Polri dalam mengemban tugasnya, namun hal itu tidak terlepas dari pengawasan atau kontrol, baik secara internal oleh Irwasum, Irwasda dan pengawasan melekat oleh atasan, maupun secara eksternal yang dilakukan oleh Kompolnas dan DPR (political control) serta adanya tanggung jawab Kapolri kepada Presiden sebagai Kepala Negara.
”Dengan legalitas, konstruksi, dan mekanisme kontrol sebagaimana yang diuraikan di atas, sepanjang semuanya dilaksanakan secara konsisten, maka kekhawatiran akan potensi munculnya Sambo-Sambo baru menjadi sesuatu yang tidak beralasan. Walaupun mungkin ada sesuatu yang salah di Polri, sehingga Ferdy Sambo bisa menyeret lebih dari 99 oknum polisi dalam kasusnya, namun jangan memakai logical falacy yang menggeneralisasi suatu kejadian seperti kasus Sambo tersebut,” tegasnya. Kerusuhan di Brixton di Inggris pada 1981, Kerusuhan di Los Angeles USA pada 1992, kerusuhan di Gedung Capitol Hill Washington DC tidak serta merta mengharuskan sistem kepolisian di negara-negara tersebut harus diubah, meski harus ada evaluasi dan koreksi yang diperlukan. Melihat adanya kekurangan di Polri seperti kejadian kasus Sambo yang melibatkan puluhan anggota, Polri tidak serta merta harus merubah sistem kepolisian Indonesia yang sudah ada. ”Pernyataan Ibu Connie untuk memindahkan Polri ke Mendagri itu pernyataan keliru dan menyesatkan yang perlu diluruskan,” ucapnya.
Sisno mencontohkan, kedudukan Kepolisian Jepang itu di bawah Kompolnas (National Public Safety Commission) dan Kompolnas Jepang di bawah Perdana Menteri. Kompolnas Jepang dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri dan lima anggota Kompolnas lain yang tidak boleh terkait dengan Partai Politik. Menurut Sisno, Kompolnas Jepang pernah berkunjung ke Kompolnas Indonesia pada 2019. Polisi Jepang bebas dari pengaruh dan kekuasaan Partai politik. “Institusi Polri tidak bisa disandingkan ataupun disamakan dengan institusi kepolisian di negara lain, karena keberadaan Polri memiliki latar belakang sejarah, budaya, dan karakteristik ataupun jati diri sebagai Bhayangkara negara yang berbeda dengan negara lain. Polri punya jati diri dan karakteristik yang berbeda dengan polisi negara lain. Semoga ini bermanfaat bagi para pihak dalam memberikan saran, kritik dan masukan demi perbaikan serta kemajuan Polri kita semua,” ucapnya,