Geger Suntik Mayat Di Jawa Barat, Kisah wabah Pes Tempo Dulu
4 min readHarianjabar.com – Kisah penolakan warga atas penguburan jasad di dekat tempat tinggalnya serta upaya paksa pengambilan jenazah yang positif oleh keluarga mewarnai pagebluk Covid-19 di negeri ini. Di Tatar Pasundan tempo dulu, peristiwa serupa juga pernah terjadi terkait kebijakan suntuk mayat terhadap warga yang diduga tewas karena wabah. Penolakan itu bahkan berujung kegemparan dan kerusuhan di masyarakat.
Belum rampung Camat Darmaraja, Raden Sena, menerangkan persoalan wabah pes yang ditularkan oleh tikus di depan kumpulan masyarakat Desa Cibugel, Sumedang, penolakan telah bermunculan dari sejumlah warga.
Musababnya, sang camat menjelaskan aturan agar orang-orang yang meninggal disuntik dan diambil darahnya guna diperiksa penyebab kematiannya karena penyakit pes atau bukan. Penjelasan baru sampai sana, sejumlah warga berdiri dan menentangnya.
Demikian suara penolakan warga sebagaimana ditulis koran berbahasa Sunda, Sipatahoenan, pada Kamis 19 Agustus 1937.
Penolakan itu berujung rusuh kala seorang warga yang menentang aturan suntik mayat memukul camat. Camat bahkan didorong ke bilik hingga terjatuh dalam kondisi terlentang. Ia bahkan sempat digusur.
Wedana Darmaraja, Mas Soewandi, yang turut hadir dalam pertemuan tersebut tak tinggal diam melihat amuk massa. Ia segera mencabut pistolnya. Namun, upaya tersebut tak membuat para penentang ketakutan.
Wedana, camat, lurah, lebe, dan juru tulis pun terpaksa menyelamatkan diri dengan bersembunyi di kamar balai desa serta menguncinya dari dalam. Rupanya, korban pemukulan bukan hanya camat. Lurah Cibugel, seorang sesepuh, hingga opas juga ikut menjadi korban.
Demikianlah kegemparan yang terjadi di Cibugel pada Kamis 20 Mei 1937. Maksud hati memberikan penerangan tentang wabah dan upaya penanggulangannya, aparat pemerintah tersebut justru menjadi sasaran amuk massa.
Aksi kekerasan itu berujung pemeriksaan sejumlah warga yang diduga menjadi pelaku. Mereka yang diperiksa yakni Parta, Marhadi, Saltim, Ehod, Irta, dan Aslan.
Penolakan suntik mayat juga terjadi di Desa Nyalindung dan Bangkok, Distrik Conggeang, Sumedang. Di tempat tersebut, tiga orang meninggal karena pes. Untuk itu, berdasarkan aturan doodschourwordordonnantie, tiga mayat tersebut harus disuntik untuk dipastikan penyebab kematiannya.
“Mantri inlichter datang ka tempat eta tea, barang datang, breng wae disalamperkeun koe djelema rea, sarta bari ngantjam moal dibikeun majit teh disoentik (Saat mantri datang, banyak orang mendatanginya sembari mengancam tak akan menyerahkan mayat-mayat itu untuk disuntik),” tulis Sipatahoenan pada 17 Januari 1935.
Sang mantri tak bisa berbuat apa-apa. Giliran demang patih, hoofdagent, dan veldpolitie yang mendatangi lokasi tersebut. Lagi-lagi, massa kekeuh enggan menyerahkan jenazah warga tersebut.
Penolakan itu berujung pengerahan petugas kepolisian dari Bandung. Bupati Sumedang ikut serta menuju lokasi itu. Di salah satu desa, ratusan orang sudah berkumpul menunggu kedatangan rombongan.
Berkat kepiawaian berbicara sang bupati, massa bisa dikendalikan dan menuruti perkataannya. Massa pun bubar. Sementara orang yang mencoba menghasut ditangkap.
Penolakan Suntik mayat juga terjadi Sukabumi. Saat mantri menyuntik mayat anak tiga tahun di Kampung Nagrak, Desa Limbangan, Kecamatan Sukaraja, timbul keributan karena adanya penolakan warga.
“Noe disangka njieun kariboetan 4 djalma, geus dibawa harita keneh ka tangsi veldpolitie (Yang disangka membuat keributan ada empat orang, mereka sudah dibawa saat itu ke tangsi polisi),” tulis Sipatahoenan, Jumat 17 Januari 1941.
Suntik mayat merupakan upaya pemerintah saat itu guna memastikan penyebab kematian seseorang apakah karena pes atau tidak. Tindakan tersebut dilakukan dengan mengambil darah jenazah yang kemudian diperiksa di rumah sakit.
Apabila yang meninggal betul-betul atau dipastikan karena pes, warga yang ikut serta dalam penguburan serta merawat korban saat sakit bakal dikarantina atau dipisahkan dari lingkungan sekitar.
Tujuannya, agar penyakit itu tak menular ke warga lain. Penolakan muncul lantaran pihak keluarga tak setuju kerabat atau saudaranya yang telah berpulang itu tetap disuntik guna kepentingan penyelidikan penyebab kematian.
“Lajon mah panginten moal ngarasa nanaon, moeng nu ngaraos njeri tea mah, nja noe mikaheman (Mayat barang kali tak akan merasakan suntikan, tetapi yang merasakan sakitnya adalah mereka yang mencintai orang yang meninggal itu),” tulis Soepriadinata di Sipatahoenan, Jumat 28 Mei 1937.
Koran itu menilai merebaknya pagebluk pes karena buruknya kesehatan masyarakat pribumi.
“Bangsa oerang rata2 kirang teda, teu werat meser saboen satjekapna kanggo bebersih (Bangsa kita rata-rata kurang makan, tak sanggup membeli sabun guna membersihkan diri. Tak pelak, syarat hidup sehat dengan makan yang cukup, perilaku higienis menjadi keniscayaan terhindar dari penyakit dan suntikan tersebut).
Sebetulnya, persoalan kebersihan lingkungan guna menangkal pes sudah ditekankan pemerintah. Salah satunya adalah aturan Woning Verbetering atau perbaikan rumah. Tujuannya, agar rumah-rumah tak menjadi sarang tikus yang menularkan dan menyebarkan pes ke warga.
Tak cuma perbaikan rumah dan suntik mayat, pemberian vaksin juga menjadi jurus ampuh menghadapi pagebluk. Sosok penemu vaksin itu adalah Dokter Otten.
“Andjeuna dina lebet 25 taoen ngoelik pikeun panolakna eta pageboeg pest (Otten selama 25 tahun meneliti vaksin penangkal pes),” tulis Sipatahoenan mengutip pernyataan R Poerwo Soewardjo, Kamis 19 Agustus 1937.
Pada 1934, vaksin pes pun ditemukan dan mulai digunakan setahun kemudian.***