Bandung (harianjabar.com) – Demam babi Afrika atau African Swine Fever (ASF) kabarnya sudah ditemukan di beberapa provinsi di Indonesia. Pemerintah Jawa Barat turut melakukan pemeriksaan ternak babi di sentra-sentra guna memastikan ada tidaknya wabah tersebut di Jabar.
Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan (DKPP) Jawa Barat pun menerjunkan tim ke dua sentra peternakan babi terbesar di Jawa Barat yakni di Kuningan dan Kabupaten Bogor. Hasilnya sampai saat ini tidak ditemukan kasus demam babi Afrika di kedua tempat tersebut.
Kepala Bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Suprijanto menuturkan, wabah tersebut rentan pada sentra-sentra ternak babi dengan jumlah besar. Sementara Jabar relatif sedikit.
“Jawa Barat tidak banyak, hanya daerah tertentu yang banyak (ternak babi), di Kuningan dan Gunung Sindur (Bogor), fokusnya di sana,” katanya saat dikonfirmasi media pada Selasa, 23 Mei 2023.
Menurut Suprijanto, sejauh ini kasusnya masih ditemukan di luar Pulau Jawa, seperti Riau dan Sulawesi Selatan. Dia pun memastikan kasus demam babi Afrika belum ada di Pulau Jawa.
‘Ini hasil dari komunikasi pihaknya dengan aparat veteriner di Yogyakarta. Dari teman-teman di sana juga tidak ada,” ujarnya.
Meski tidak ada kasus pihaknya sudah mengimbau agar para peternak babi di Jabar waspada.
Di sisi lain, guna mengantisipasi wabah tersebut DKPP melakukan deteksi lalu lintas hewan di sejumlah titik guna meningkatkan pengawasan. Selama ini Kuningan dan Bogor memasok babi untuk hewan potong ke Jakarta dan Kota Bandung dengan jumlah hewan yang relatif sedikit.
“Yang dari Kuningan itu ke RPH babi di Kota Bandung paling hanya 15-20 ekor per hari, tidak banyak,” ucapnya.
Sementara itu, Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKS Netty Prasetiyani mendesak pemerintah agar menggencarkan edukasi terkait virus demam babi Afrika.
“Edukasi ke masyarakat terkait virus demam babi Afrika ini masih belum banyak dilakukan, padahal kasus yang terjadi di Luwu Timur dan daerah lain telah menyebabkan belasan ribu ternak babi mati,” kata Netty.
Menurut Netty, virus ASF belum ditemukan menular ke manusia, namun sangat menular pada babi hingga dapat menyebabkab kematian 100 persen pada komunitas ternak yang terjangkiti.
“Virus dapat bertahan lama pada babi yang sudah mati atau di lingkungan. Ternak sehat yang memakan sisa-sisa makanan bercampur daging babi terinfeksi ASF akan langsung terpapar,” ucapnya.
Kejadian di Luwu Timur, dimana belasan ribu ternak babi mati setelah diberi sisa makanan, kata Netty, menunjukkan bahwa masyarakat belum aham ciri-ciri daging yang terinfeksi.
“Ciri-ciri daging terinfeksi, gejala ternak yang terpapar dan bagaimana penanganan awal yang cepat harus disosialisasikan oleh pemerintah pada masyarakat di daerah dengan tingkat konsumsi daging babi tinggi,” kata Netty.
Netty juga meminta kementerian atau lembaga pemerintah terkait agar saling bersinergi dan berkoordinasi guna memperbaiki tata kelola kesehatan hewan di Indonesia.
“Imbas ekonomi virus ASF ini cukup besar karena dapat menghentikan ekspor babi. Contohnya Singapura yang langsung menyetop impor babi dari Indonesia setelah ditemukan virus ASF pada babi di Pulau Bulan,” ujarnya.
“Temuan virus ASF ini sangat memprihatinkan mengingat Pulau Bulan, sebelumnya sudah ditetapkan sebagai kompartemen bebas ASF dengan Keputusan Menteri Pertanian tahun 2021. Jadi, jangan anggap enteng kalau kita tidak ingin kecolongan lagi,” kata Netty.
Dia menegaskan, kasus tersebut harus dijadikan sebagai momentum untuk memperbaiki tata kelola kesehatan berbagai jenis hewan di Indonesia.
“Jangan sampai kelalaian kita menyebabkan potensi peternakan kita sebagai penyumbang pendapatan negara terganggu,” ucap Netty.***
78 total views