Jawa Barat Pusat Perebutan Suara Terpanas Pilpres 2024, Bisa Jadi Kunci Kemenangan Satu Putaran
2 min readharianjabar.com –
Jawa Barat bakal menjadi wilayah “panas” perebutan suara Pemilu 2024. Pasalnya, Jawa Barat merupakan salah satu lumbung suara besar bagi para kontestan. Kondisi itu membuat Jawa Barat rawan gesekan atau konflik. Pengamat politik sekaligus Dosen Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Komputer Indonesia (Unikom) Wim Tohari Daniealdi menilai, palagan perebutan suara paling sengit akan berlangsung di Pulau Jawa. “Karena ini adalah lumbung suara nasional,” kata pria yang akrab dipanggil Aldi tersebut saat dihubungi, Jumat, 29 Desember 2023. Dengan jumlah penduduk terbesar di negeri ini, Pulau Jawa adalah kunci kemenangan para kontestan, termasuk bagi para kandidat presiden dan wakilnya. Namun, Jabar memiliki nilai strategis yang berpotensi membara. “Karena di sini adalah wilayah dengan DPT (daftar pemilih tetap) terbanyak,” ucap Aldi. Tak ayal, pertarungan seru akan terjadi di Jabar sebagai wilayah kunci kemenangan. Jika Jawa Tengah dan Jawa Timur ditengarai raihan suara para pasangan calon dan wakilnya terbelah, Jabar justru menjanjikan kemungkinan suara dominan bisa didapat. Dan itu bahkan bisa digunakan untuk mengunci kemenangan satu putaran.
Aldi berkaca pada hasil survei terkait pentingnya suara Jabar dalam pemenangan Pilpres. Jika Jabar berpotensi menjadi jalur kemenangan satu putaran satu pasangan calon, jalan satu-satunya bagi pasangan lain guna menghalau gerak laju itu adalah dengan memenangkan suara di wilayah tersebut. “Jadi wilayah ini, bisa jadi akan menjadi pusat perebutan suara paling panas dalam Pilpres ini,” ucapnya. Dengan potensi memanas dan tingginya gesekan, Aldi menilai, perlu adanya upaya meredam kondisi tersebut. “Cara meredamnya adalah dengan menegasikan politik identitas. Selama Paslon yang bersaing bisa menggunakan gagasan-gagasannya sebagai sarana untuk menggaet massa, maka dinamika kontestasi tidak akan sampai bereskalasi terlalu tinggi,” tuturnya. Meski begitu, ia berpandangan potensi konflik dalam hajat demokrasi 2024 tidak akan terlalu besar seperti Pemilu sebelumnya. Namun, narasi politik identitas bukannya telah lenyap, melainkan tidak lagi menjadi arus utama.
“Mungkin pada elite politik sudah menyadari, setelah berkaca pada hasil Pilpres 2014 dan 2019, isu-isu politik identitas ini nyatanya tidak membawa kemenangan,” ujarnya. Alih-alih membawa kemenangan, isu-isu tersebut justru mengguncang pondasi kebangsaan dan kenegaraan.
Pemilih rasional
Lalu bagaimana dengan pemilih rasional? Mereka yang mencoblos dengan mengutamakan kinerja, pengalaman, visi-misi, program dan kualitas dan kompetensi kandidat, apakah masih ada? Aldi merujuk Tren Elektabilitas Segmen Pemilih Rasional versi Poltracking yang menunjukkan segmen itu ternyata lebih dari 50 persen pemilih di Indonesia. “Ini juga yang mungkin menjelaskan mengapa isu politik identitas tidak laku, atau tidak mendapat tempat dalam Pilpres kali ini,” ucapnya. Upaya yang bisa dilakukan dalam menciptakan pemilih rasional, menurut Aldi, adalah dengan memperkuat literasi politik melalui pendidikan.
“Meski menurut teori politik dikatakan bahwa faktor ekonomi menjadi variabel determinan dalam mendorong tumbuhnya segmen pemilih rasional, tapi faktanya Pilpres Amerika 2016, menjungkirbalikkan anggapan itu. Isu politik identitas yang dibawa oleh Donald Trump nyatanya laku keras di masyarakat Amerika Serikat,” tutur Aldi. Tak pelak, literasi politik dan demokrasi adalah solusi yang dominan. “Karena orang yg memiliki literasi politik yang baik, akan lebih fokus menjaga sistem (demokrasi) daripada sosok (person). Dan Pilpres itu adalah metode memilih pengelola lembaga kepresidenan