Harianjabar.com

Media online jawa barat | media jawa barat | informasi jawa barat | berita jawa barat | berita bandung | gubernur jawa barat | walikota bandung | walikota bogor | info kuliner jawa barat | Media Jabar | Jabar Online news | Jabar news | Berita online jawa barat | Media online jabar | Info jabar | Harian Jabar.

Pengalaman Horor di Sebuah Desa Kaki Gunung Merapi

6 min read

harianjabar.com -Bagaimana rasanya menerima “sambutan” di sebuah desa, menyenangkan bukan? Namun, ini bukan tentang sambutan biasa.

Kali ini saya akan bercerita tentang perjalanan kegiatan pengembangan diri dengan masyarakat yang berbeda dalam kehidupan baik budaya maupun sosial ekonomi atau yang biasa dikenal istilah live in yang dimbumbui pengalaman horor. Kegiatan ini merupakan kegiatan wajib yang diadakan oleh sekolah saya tepatnya pada kelas 10 SMA.

Sebagai siswa yang dahulu melakukan kegiatan ini, menurut saya kegiatan ini sangat seru dan melatih pengembangan diri siswa agar mereka tahu bagaimana budaya dan sosial ekonomi yang ada dan terjadi di daerah lain dari sekitar mereka. Kegiatan ini biasanya dilakukan cukup jauh dari daerah yang biasa kita melakukan aktivitas, agar lebih terasa perbedaannya. Tidak hanya jauh, tetapi kami tinggal bersama warga desa selama beberapa hari, tergantung dengan sekolahnya. Biasanya sekolah sudah mempersiapkan bagaimana dan apa yang akan dilakukan di tempat yang akan kita tinggalkan nanti, serta apa saja yang perlu dibawa.

Kegiatan pengembangan diri yang diselenggarakan oleh sekolah saya ini berlangsung selama sembilan hari di sebuah desa di kaki Gunung Merapi, Jawa Tengah. Sebelum hari berangkat tiba, saya melakukan beberapa persiapan seperti baju, obat-obatan pribadi, senter, beberapa peralatan mandi, botol minum, uang saku, sandal, dan lainnya.

Perjalanan di Sebuah Desa Kaki Gunung Merapi

Pada hari keberangkatan, saya dengan teman saya kelas 10 lainnya, serta guru pendamping berangkat menggunakan kereta hingga stasiun terdekat setelah itu menggunakan bus sewaan hingga ke tempat tujuan kami. Tidak lupa sebelum berangkat saya meminta doa kepada ibu saya agar kegiatan ini dapat berjalan lancar dan aman sampai pulang kembali ke rumah. Singkatnya, tibalah saya bersama teman-teman saya berkumpul di Stasiun Pasar Senen pada malam hari, perjalanan kami dari Stasiun Pasar Senen hingga stasiun terdekat dari lokasi tujuan kami kurang lebih tujuh jam perjalanan.

Baca:Di suatu Malam

Di perjalanan, saya bersama teman-teman saya banyak mengabadikan momen dan bercerita satu sama lain tentang apa kira-kira yang akan dilakukan di sana setelah sampai. Pagi hari kami tiba di stasiun tujuan, dan melanjutkan perjalanan menggunakan bus kurang lebih empat jam, waktu ini saya gunakan untuk beristirahat karena di kereta semalam, saya tidak bisa tidur, mungkin karena terlalu bergairah dan semangat tiba di tempat tujuan, namanya juga baru pertama kali ke tempat yang belum pernah di kunjungi, apa lagi datang dan tinggal cukup lama di sana.

Sampailah saya di tempat tujuan, yakni desa yang akan menjadi tempat tinggal saya selama sembilan hari ke depan bersama teman-teman saya. Sebelumnya kami dikumpulkan di sebuah bangunan aula untuk disambut oleh kepala desa, warga desa, dan pendeta setempat. Setelah itu kami mulai dibagi untuk menempati rumah yang sudah diatur oleh guru kami, kira-kira setiap rumah 3-4 siswa. Siswa akan tinggal bersama orang tua asuh dan juga keluarga yang tinggal di rumah tersebut, di sini kita akan tinggal dan membantu kegiatan masing-masing keluarga dan mengikuti acara-acara yang telah disusun pihak sekolah.

Setelah pembagian selesai, kami berjalan bersama orang tua asuh menuju rumah kami masing-masing dan mulai membereskan barang kami, lalu dibolehkan untuk beristirahat. Di sini saya satu rumah dengan Kerel, Dustin, dan Rull. Kesan pertama kali saya melihat dan masuk ke dalam rumah adalah bersyukur, saya sangat bersyukur rumah saya cukup besar dan rumah saya dengan teman saya lainnya jaraknya tidak jauh hanya dua sampai tiga meter dari rumah lainnya. Waktu beristirahat yang diberikan, saya gunakan bersama teman satu rumah saya untuk mengobrol dengan bapak dan ibu asuh di rumah yang kami tinggali ini.

Dari obrolan itu, kami jadi tahu apa latar belakang bapak dan ibu, situasi desa ini, dan aktivitas di desa ini. Ternyata banyak warga desa yang satu darah keluarga, sehingga rumah kakak ataupun adik dari bapak dan ibu asuh saya tidak begitu jauh jaraknya. Uniknya lagi, ternyata rumah kakak bapak asuh saya adalah rumah yang teman dekat saya tinggali, jadi akan cukup sering saya bermain ke rumah teman dekat saya pada saat waktu luang. Dari cerita bapaknya juga, pada saat ada warga desa yang ingin pindah rumah, maka satu desa akan membantu proses perpindahan rumah tersebut hingga selesai, begitu erat tali persaudaraan di desa ini.

Setelah cukup lama saya mengobrol bersama bapak dan ibu, jam sudah menunjukkan jam 6 sore, langit mulai gelap, saya bersiap untuk mengikuti sesi di gereja untuk beribadah dan briefing untuk yang dilakukan besok pagi hari. Saya berangkat bersama ketiga teman saya pada saat itu, dan bertemu dengan teman yang lainnya di gereja. Setelah rangkaian acara selesai di gereja, kami diminta kembali ke rumah masing-masing untuk mengikuti aktivitas yang dilakukan di masing-masing rumah.

Sekembalinya saya ke rumah bersama teman yang satu rumah dengan saya, kami mulai menyusun tempat tidur kami, kebetulan rumah orang tua asuh kami memiliki dua lantai, dan kami diberikan kamar di lantai dua. Lantai dua ini biasa digunakan ibu untuk menjemur dan tersedia kamar kosong, ibu dan bapak serta adik biasanya tidur di bawah dekat dengan ruang televisi. Memang, rumah bapak belum sepenuhnya selesai renovasi, hanya ruang tamu dan kamar lantai satu yang memiliki lantai dan juga cat tembok sisanya seperti dapur, lantai dua masih dilapisi oleh semen yang kasar, lantai maupun tembok.

Setelah kami merapikan tempat tidur kami, kami menuju lantai bawah untuk mengobrol bersama setelah kegiatan di gereja tadi. Kebetulan sekali saya dan juga Kerel membawa senter yang mirip hanya saja beda warna, kami berdua langsung ke depan rumah untuk mencoba senter kami berdua.

Walaupun senter kami terlihat sama hanya beda warna, cahaya yang dipantulkan senter ternyata berbeda. Cahaya di senter saya lebih menyebar, sedangkan senter yang dimiliki Kerel lebih menyempit sehingga jarak senter Kerel lebih jauh dibandingkan punya saya. Kami berdua mencoba menyenteri kebun yang langsung menghadap Gunung Merapi, lalu melihat dan menyenteri kiri dan kanan kami.

Saat kami menyenteri ke sebelah kanan hanya kabut dan dinginnya malam yang terlihat, saat kami mencoba menyenteri sebelah kiri kami melihat tetangga kami seorang nenek-nenek yang sedang menjemur malam-malam, saya langsung teringat dengan pesan dari guru kami, jika kita melihat warga desa yang sedang melakukan aktivitasnya dan kesulitan maka kita harus ikut membantu karena memang tugas kami datang dalam kegiatan ini.

Tanpa berpikir panjang, kami langsung menuju rumah tetangga kami, karena rumah di kaki gunung ini tidak semuanya sejajar, maka kami harus turun tangga dan melewati jalan untuk ke rumah tetangga kami. Setelah kami sampai di tempat nenek tadi menjemur baju, nenek tersebut sudah tidak ada, serta ember, dan juga tali penggantung baju pun tidak ada. Kami berdua sontak lari kembali ke rumah dan ketakutan, setelah sampai rumah kami langsung bersepakat untuk tidak menceritakan kepada siapa pun dulu karena kondisi ketakutan kami.

Singkat cerita setelah malam itu kami mencoba mencairkan suasana agar tidak takut dan mencoba untuk tidur. Tibalah pagi hari, saya mulai merasakan pusing yang luar biasa, badan saya mengalami demam. Selama beberapa hari saya hanya istirahat di kasur, makanan makanan seperti sayur dan juga buah untuk mengembalikan kesehatan saya agar dapat kembali mengikuti rangkaian kegiatan. Tiga hari tak kunjung sembuh, akhirnya wali kelas saya meminta izin orang tua saya untuk membawa saya ke dokter, dibawalah saya ke dokter dan disuntik anti demam serta diberi obat minum untuk bisa sehat lagi. Tidak lupa, seperti orang Indonesia pada umumnya, jika mau sembuh harus dikerok. Selain minum obat, kerokan juga menjadi obat yang membantu penyembuhan bagi saya.

Saya dikerok oleh ibu sambil bercerita aktivitas saya di sekolah, di tengah perbincangan saya merasa harus menceritakan kejadian yang saya alami bersama Kerel kepada ibu, dengan rasa takut saya memberanikan diri untuk bercerita kejadian malam itu. Saya cukup kaget dengan jawaban ibunya yang berkata, “Memang belum lama sekitar tiga bulan yang lalu orang tua dari tetangga Ibu baru saja meninggal, anggap saja seperti ucapan selamat datang sama kamu.” Saya hanya terdiam sambil menahan rasa sakit kerokan.

Loading

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *