
Cikarang, HarianJabar.com – Rencana pemerintah untuk menambah kepemilikan saham sebesar 12 persen di PT Freeport Indonesia (PTFI/Freeport) dengan imbalan perpanjangan kontrak tambang selama 20 tahun menuai kritik tajam. Kebijakan tersebut dinilai berpotensi menggerus penerimaan negara alih-alih memperkuatnya.
Pengamat ekonomi, Fahmy, menilai langkah barter saham dengan kontrak jangka panjang tidak memberikan keuntungan nyata bagi Indonesia. Menurutnya, persoalan mendasar terletak pada kondisi tambang dan kebijakan ekspor yang selama ini masih merugikan negara.
Produksi Freeport Menurun
Fahmy mengingatkan bahwa longsornya tambang bawah tanah Grasberg Block Cave (GBC) berdampak pada turunnya produksi Freeport. Hingga kini, kata dia, produksi belum kembali normal.
“Artinya, pendapatan dari Freeport berpotensi turun, baik tahun ini maupun tahun depan,” ujarnya.

Barter Saham vs Kontrak Tambang
Kontrak tambang Freeport di Papua saat ini berlaku hingga 2041. Jika diperpanjang 20 tahun sebagai barter tambahan saham 12 persen, menurut Fahmy, dampaknya terhadap penerimaan negara justru minimal.
“Setoran dividen ke negara malah bisa ambruk,” katanya.
Ekspor Ore Masih Jadi Masalah
Lebih jauh, Fahmy menegaskan bahwa kerugian terbesar Indonesia datang dari kebijakan ekspor ore tembaga mentah yang masih diperbolehkan.
“Dari dulu saya tegaskan, selama Freeport diberikan izin mengekspor ore tembaga mentah, Indonesia akan selalu rugi. Mau sahamnya seribu persen sekalipun, tetap tidak ada nilai tambahnya,” tegasnya.
Menurutnya, nilai ekonomi baru akan optimal bila Indonesia mengekspor produk olahan seperti tembaga, emas, atau perak yang telah melalui proses pemurnian.
Tantangan Kebijakan Hilirisasi
Pemerintah sebelumnya menargetkan percepatan hilirisasi mineral untuk meningkatkan nilai tambah komoditas tambang. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan relaksasi ekspor masih diberikan, termasuk kepada Freeport.
Baca Juga:
ray dalio temui presiden prabowo
Kritik terhadap rencana barter saham ini sekaligus menjadi peringatan bahwa kepentingan jangka pendek tidak boleh mengorbankan penerimaan negara di masa depan.