Jakarta, HarianJabar.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Atase Ketenagakerjaan Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur, Harry Ayusman (HA), sebagai saksi kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan.
“Untuk saksi HA, hari ini dilakukan pemeriksaan terkait dengan pengetahuan yang bersangkutan mengenai dugaan aliran uang dari para agen TKA kepada pihak-pihak di Kementerian Ketenagakerjaan,” ujar Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (24/10/2025).
Materi pemeriksaan yang sama juga diberikan kepada dua saksi lain, yakni ID, aparatur sipil negara Kemnaker, dan BWS, seorang jurnalis.
Konstruksi Perkara
Sebelumnya, KPK telah menetapkan delapan tersangka dalam kasus dugaan pemerasan RPTKA dengan total aliran dana mencapai Rp53,7 miliar pada periode 2019–2024:
- Haryanto (HY) – Dirjen Binapenta dan PKK 2024–2025, Rp18 miliar
- Putri Citra Wahyoe (PCW) – Staf Direktorat PPTKA 2019–2024, Rp13,9 miliar
- Gatot Widiartono (GTW) – Koordinator Analisis & Pengendalian TKA 2021–2025, Rp6,3 miliar
- Devi Anggraeni (DA) – Direktur PPTKA 2024–2025, Rp2,3 miliar
- Alfa Eshad (ALF) – Staf Direktorat PPTKA 2019–2024, Rp1,8 miliar
- Jamal Shodiqin (JMS) – Staf Direktorat PPTKA 2019–2024, Rp1,1 miliar
- Wisnu Pramono (WP) – Direktur PPTKA 2017–2019, Rp580 juta
- Suhartono (SH) – Dirjen Binapenta dan PKK 2020–2023, Rp460 juta

Selain itu, terdapat aliran dana tambahan sebesar Rp8,94 miliar yang dibagikan kepada sekitar 85 pegawai Direktorat PPTKA dalam bentuk pembayaran rutin dua mingguan. Dana ini juga digunakan untuk kepentingan pribadi para tersangka, termasuk pembelian aset atas nama individu maupun keluarga.
Kasus ini mengungkap praktik korupsi yang sistematis dan terorganisir di lingkungan Direktorat PPTKA, Ditjen Binapenta, dan PKK. Permohonan RPTKA hanya diproses jika pemohon menyetor sejumlah uang. Permohonan yang tidak disertai setoran diperlambat bahkan diabaikan.
Penjadwalan wawancara daring melalui Skype juga dikendalikan secara manual dan hanya diberikan kepada pemohon yang telah menyetor dana. Penundaan penerbitan RPTKA dapat menimbulkan denda hingga Rp1 juta per hari bagi perusahaan, sehingga praktik pemerasan berjalan efektif.
Para pejabat tinggi seperti Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, dan Devi Anggraeni diduga memberikan instruksi kepada para verifikator, termasuk Putri Citra Wahyoe, Alfa Eshad, dan Jamal Shodiqin, untuk melakukan pungutan kepada pemohon RPTKA. Dana hasil pungutan kemudian dibagikan secara berkala kepada pegawai dan digunakan untuk berbagai keperluan pribadi, mulai dari jamuan makan hingga pembelian aset.
