Bekasi, HarianJabar.com — Ketegangan diplomatik antara Kolombia dan Amerika Serikat (AS) meningkat setelah Presiden Gustavo Petro menolak sanksi yang dijatuhkan oleh pemerintahan Presiden Donald Trump.
Sanksi tersebut menargetkan Petro, keluarganya, dan Menteri Dalam Negeri Armando Benedetti.
Langkah ini memicu reaksi keras dari pemerintah Kolombia, yang menyebut tindakan Washington sebagai bentuk tekanan politik dan paradoks dalam perang global melawan narkoba.
Petro Sebut Sanksi sebagai “Paradoks Perang Narkoba”
Dalam pernyataannya melalui platform media sosial X, Jumat (24/10/2025), Petro menyampaikan kekecewaannya terhadap keputusan Washington.
Menurutnya, Kolombia selama ini justru menjadi mitra penting AS dalam upaya pemberantasan perdagangan kokain.
“Memerangi perdagangan narkoba selama puluhan tahun dan melakukannya secara efektif justru membuat saya menerima langkah ini dari negara yang begitu banyak kami bantu menghentikan konsumsi kokain mereka,” tulis Petro.
“Cukup paradoks, tetapi tidak ada langkah mundur dan kami tidak akan berlutut,” lanjutnya.
Presiden berhaluan kiri itu menegaskan akan menempuh jalur hukum untuk menolak sanksi tersebut dan menunjuk pengacara asal AS, Dany Kovalik, sebagai penasihat hukum internasional.
Sanksi Pertama terhadap Presiden Kolombia Aktif
Departemen Keuangan AS menyebut sanksi ini dijatuhkan atas tuduhan bahwa pemerintahan Petro dianggap gagal menindak jaringan kartel narkoba di Kolombia.
Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, menuduh bahwa sejumlah pejabat Kolombia membiarkan aktivitas kartel tumbuh tanpa pengawasan efektif.
“Presiden Petro telah membiarkan kartel narkoba berkembang dan menolak untuk menghentikan aktivitas ini,” kata Bessent dalam pernyataan resminya di Washington.
Kebijakan ini menjadi catatan sejarah baru, karena baru kali pertama seorang presiden Kolombia yang masih menjabat dikenai sanksi oleh Amerika Serikat.
Armada AS Dikerahkan ke Amerika Latin
Selain menjatuhkan sanksi, Washington juga mengumumkan pengerahan kapal induk dan armada tempur tambahan ke kawasan Amerika Latin.
Langkah ini disebut sebagai bagian dari operasi “memerangi terorisme narkoba”, meski sejumlah pengamat menilai hal tersebut dapat memperkeruh situasi regional.
Pengamat hubungan internasional dari Universidad de los Andes, Carolina López, menilai kebijakan ini bisa berdampak luas pada kerja sama keamanan di kawasan.
“Jika Kolombia memutus komunikasi intelijen dengan Washington, efeknya bisa terasa di seluruh Amerika Selatan,” katanya.

Bogotá Siap Lawan Secara Diplomatik
Pemerintah Kolombia melalui Kementerian Luar Negeri menyatakan akan mengirim nota diplomatik resmi ke Washington untuk meminta penjelasan terkait dasar hukum sanksi tersebut.
“Kolombia tetap berkomitmen memerangi narkoba, tetapi tidak dapat menerima langkah sepihak yang merugikan martabat nasional,” ujar juru bicara kementerian dalam keterangan tertulis.
Petro menegaskan, negaranya tetap terbuka pada kerja sama internasional, asalkan dilakukan berdasarkan kesetaraan dan penghormatan terhadap kedaulatan negara.
Ketegangan Bilateral Meningkat
Hubungan kedua negara kini berada pada titik terendah dalam satu dekade terakhir.
Banyak analis memperkirakan, jika ketegangan terus berlanjut, Kolombia bisa mencari poros diplomatik baru dengan negara-negara Amerika Latin lainnya yang juga mengkritik kebijakan luar negeri AS.
“Dunia kini menunggu bagaimana perang narasi ini berlanjut,” tulis harian El Tiempo, “antara klaim efektivitas perang narkoba versi Petro dan klaim perlindungan nasional versi Washington.
Kasus ini menunjukkan bagaimana isu perang narkoba kembali menjadi sumber gesekan geopolitik antara Washington dan negara-negara Amerika Latin.
Baik Kolombia maupun Amerika Serikat kini berada di persimpangan antara kerja sama keamanan dan pertarungan politik internasional.
