Bekasi, HarianJabar.com – Isu dugaan penggelembungan dana alias mark-up dalam proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) Whoosh kembali memanas.
Pakar Hukum Pidana Universitas Tarumanegara (Untar), Hery Firmansyah, menegaskan bahwa aparat penegak hukum tak boleh membiarkan isu ini bergulir liar tanpa kejelasan.
“Harus ada tindakan dulu dari aparat penegak hukum terkait sikap mengenai perkara ini seperti apa,” ujar Hery kepada Inilah.com, Sabtu (25/10/2025).
Menurutnya, publik sudah terlalu lama menunggu sikap resmi dari pemerintah dan lembaga hukum atas polemik yang ramai diperbincangkan ini.
Desakan Agar Komisi III DPR Turun Tangan
Hery mendesak Komisi III DPR RI ikut turun tangan agar publik mendapat kejelasan — apakah dugaan mark-up tersebut benar-benar masuk ranah hukum pidana, atau sekadar perbedaan administratif dan perhitungan teknis proyek.
“Diskursus hal ini sudah ramai di ruang publik. Komisi III perlu menyuarakan agar isu ini di-clear-kan dulu, apakah bersifat hukum atau non-hukum,” tegasnya.
Menurut Hery, bila status hukumnya sudah jelas, barulah bisa ditarik rantai pertanggungjawaban terhadap pihak-pihak yang berwenang dalam perencanaan, penganggaran, hingga pelaksanaan proyek raksasa tersebut.
“Tentu mereka yang berhubungan dengan ide proyek dan penggelontoran dana harus bertanggung jawab,” tambahnya.
Mahfud MD Bongkar Selisih Nilai Pembangunan
Isu dugaan mark-up proyek Whoosh pertama kali mencuat dari pernyataan mantan Menko Polhukam Mahfud MD di kanal YouTube Mahfud MD Official.
Mahfud menyebut biaya pembangunan KCJB mencapai USD 52 juta per kilometer, sementara versi China hanya USD 17–18 juta per kilometer.
“Itu saya sampaikan karena ada diskusi antara Agus Pambagio dan Antony Budiawan di televisi swasta,” jelas Mahfud.
Pernyataan tersebut sontak memicu kehebohan publik dan mendorong banyak pihak untuk meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera turun tangan melakukan penyelidikan.
KPK: Kami Tidak Diam, Tapi Kumpulkan Informasi
Menanggapi pernyataan Mahfud, KPK meminta agar laporan resmi disampaikan jika memang ada data konkret terkait dugaan mark-up tersebut.
Namun, Mahfud balik menilai sikap itu aneh karena menurut hukum pidana, aparat penegak hukum bisa langsung menyelidiki tanpa menunggu laporan.

“Kalau ada dugaan peristiwa pidana, seharusnya APH langsung menyelidiki, bukan minta laporan,” tulis Mahfud melalui akun X (Twitter) @mohmahfudmd, Sabtu (18/10/2025).
KPK membantah tudingan diam dan menyatakan telah mulai menelusuri informasi dari berbagai sumber.
“Kami tidak menunggu. Kami mencari juga informasi,” kata Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Selasa (22/10).
Asep menambahkan, KPK dapat menindaklanjuti dugaan korupsi melalui dua jalur: laporan masyarakat dan metode case building (pembangunan perkara).
“Informasi awal dari masyarakat itu positif, bentuk partisipasi publik dalam pemberantasan korupsi,” ujarnya.
Transparansi dan Akuntabilitas Proyek Strategis
Proyek KCJB Whoosh merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) dengan nilai investasi mencapai Rp114 triliun lebih, melibatkan konsorsium PT KCIC (Kereta Cepat Indonesia China).
Proyek ini semula dijadwalkan rampung 2020, namun molor hingga diresmikan pada 2023.
Isu mark-up kembali menyeruak setelah publik menemukan selisih biaya signifikan antara perhitungan pihak Indonesia dan China.
Banyak pihak menilai, perlu ada audit menyeluruh untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan dana publik.
Pakar hukum, DPR, dan KPK kini berada di persimpangan penting: antara menegakkan transparansi proyek publik atau membiarkan isu mark-up KCJB menguap tanpa penyelesaian.
Publik menunggu langkah nyata lembaga hukum agar proyek ambisius yang digadang sebagai simbol modernisasi transportasi Indonesia ini tidak ternodai oleh praktik korupsi atau pemborosan anggaran.
“Kita butuh kejelasan hukum, bukan hanya klarifikasi politik,” tegas Hery Firmansyah.
