Bandung, Jawa Barat — Kasus viral yang sempat mengguncang jagat maya mengenai seorang bocah laki-laki berusia 13 tahun yang diceburkan ke dalam sumur oleh teman sebayanya di wilayah Bandung, Jawa Barat, kini resmi dinyatakan berakhir secara damai. Kepolisian memastikan bahwa proses penyelesaian telah dilakukan sesuai dengan prinsip keadilan restoratif (restorative justice), terutama karena para pelaku dan korban sama-sama masih berstatus anak-anak.
Peristiwa memilukan ini terjadi beberapa waktu lalu dan terekam dalam sebuah video yang kemudian tersebar luas di media sosial. Dalam video tersebut, tampak korban diperlakukan secara tidak manusiawi oleh sejumlah anak lain, yang diduga merupakan teman sebayanya. Aksi tersebut menuai kecaman luas dari masyarakat, tokoh pendidikan, aktivis perlindungan anak, serta warganet yang menyerukan agar pelaku diberikan hukuman setimpal demi memberikan efek jera.
Setelah dilakukan penyelidikan dan proses mediasi, pihak kepolisian bersama tokoh masyarakat, orang tua pelaku dan korban, serta lembaga perlindungan anak, memutuskan untuk menyelesaikan perkara ini secara kekeluargaan. Kedua belah pihak menyatakan sepakat untuk berdamai, setelah melalui proses klarifikasi, permintaan maaf terbuka, serta penandatanganan surat pernyataan damai yang disaksikan langsung oleh aparat hukum.
“Kami memahami bahwa semua pihak, baik korban maupun pelaku, masih anak-anak dan perlu diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri. Pendekatan yang kami tempuh adalah pendekatan edukatif dan rehabilitatif, bukan represif,” ungkap Kapolsek setempat dalam keterangan pers.
Dalam proses mediasi tersebut, pihak keluarga pelaku mengakui kesalahan anak-anak mereka dan menyampaikan permohonan maaf kepada korban serta keluarganya. Di sisi lain, keluarga korban juga menunjukkan sikap terbuka dan memilih menyelesaikan persoalan ini secara damai demi masa depan anak-anak yang terlibat.
Selain mediasi, pihak kepolisian menyatakan akan bekerja sama dengan lembaga terkait untuk melakukan pembinaan psikologis dan edukatif terhadap seluruh anak yang terlibat. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa mereka memahami dampak dari perbuatan mereka serta mencegah terjadinya pengulangan kasus serupa di masa depan.
Kasus ini menjadi pengingat keras bagi seluruh pihak, terutama orang tua, sekolah, dan masyarakat luas, akan pentingnya pengawasan serta pembinaan terhadap perilaku anak-anak sejak dini. Di era digital dan keterbukaan informasi seperti sekarang ini, tindakan perundungan dapat menyebar dengan cepat dan berdampak buruk terhadap korban, baik secara fisik maupun psikologis.
Aktivis perlindungan anak di Jawa Barat juga menyambut baik penyelesaian kasus ini melalui pendekatan keadilan restoratif, namun menekankan pentingnya pembinaan jangka panjang dan edukasi nilai-nilai toleransi, empati, serta anti-kekerasan di kalangan anak dan remaja.
“Anak-anak adalah peniru yang ulung. Kita sebagai orang dewasa perlu memberi contoh yang baik serta menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung untuk mereka tumbuh,” ujar seorang psikolog anak dari Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI).
Diharapkan melalui penyelesaian yang humanis ini, para pihak yang terlibat dapat memetik pelajaran berharga dan memperbaiki diri. Pemerintah daerah juga diminta untuk lebih aktif menggalakkan program pendidikan karakter dan anti-perundungan di sekolah-sekolah, demi menciptakan generasi muda yang lebih sehat secara mental, emosional, dan sosial.
