Bekasi, HarianJabar.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Komarruzaman (KOM), seorang pihak swasta, sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit fiktif di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Pemeriksaan berlangsung di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa (4/11/2025).
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyatakan materi pemeriksaan akan diungkap setelah seluruh proses selesai. Pemeriksaan ini merupakan bagian dari penyidikan dugaan tindak pidana korupsi (TPK) terkait fasilitas pembiayaan di LPEI yang diduga menjadi pintu masuk terjadinya kredit fiktif.
Pemeriksaan Saksi Lain
Sebelumnya, KPK telah memeriksa sejumlah saksi penting untuk mendalami proses internal LPEI:
- Sunu Widi Purwoko (SWP), mantan Kepala Divisi Hukum LPEI tahun 2015, dimintai keterangan terkait Prosedur Operasional Baku (POB) pemrosesan kredit serta sikap divisi hukum atas usulan, reviu, dan keputusan pemberian fasilitas kredit.
- Dendy Wahyu K, mantan Kepala Divisi Kepatuhan, diperiksa mengenai pengawasan internal dan tanggapan divisi kepatuhan terkait proses pemberian kredit.
- Irene Gunawan (IG), debitur, memberikan keterangan tentang mekanisme permohonan kredit serta penggunaan dana setelah pencairan.
- Yevita Pantjanata (YP), saksi swasta, dimintai keterangan soal kepemilikan dan proses penjualan saham perusahaan debitur.
Keempat saksi ini menjalani pemeriksaan pada Kamis (23/10/2025). Selain itu, penyidik juga telah memeriksa dua mantan pejabat LPEI anggota Komite Pembiayaan, yakni Arif Setiawan (AS) dan Ngalim Sawega (NS), terkait pemberian pembiayaan kepada PT SMJL dan PT MAS.

Dugaan Modus Kredit Fiktif
Kredit fiktif diberikan kepada dua perusahaan milik tersangka Hendarto (HD), yaitu PT SMJL dan PT MAS. Dana seharusnya digunakan untuk pengembangan usaha, namun sebagian dialihkan untuk kepentingan pribadi, termasuk pembelian aset, kendaraan, kebutuhan keluarga, dan perjudian, dengan jumlah dugaan penggunaan untuk judi mencapai hampir Rp150 miliar.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menyatakan penggunaan dana sangat tidak proporsional. Kebutuhan operasional PT SMJL hanya sebesar Rp17 miliar (3,01% dari total pinjaman), dan PT MAS senilai 8,2 juta dolar AS (sekitar Rp110 miliar, 16,4% dari total pinjaman).
KPK menduga ada persekongkolan antara Hendarto dan pejabat LPEI untuk memuluskan pencairan kredit, termasuk penggunaan agunan kebun sawit di kawasan hutan lindung tanpa izin sah. Kedua perusahaan menerima Kredit Investasi Ekspor (KIE) dan Kredit Modal Kerja Ekspor (KMKE), dan negara diperkirakan mengalami kerugian hingga Rp1,7 triliun.
Tersangka Sebelumnya
Sebelum Hendarto, KPK telah menetapkan lima tersangka lain dalam kasus ini, di antaranya:
- Newin Nugroho (NN), Direktur Utama PT Petro Energy
- Jimmy Masrin (JM), Presiden Direktur PT Caturkarsa Megatunggal sekaligus Komisaris Utama PT Petro Energy
- Susy Mira Dewi Sugiarta (SMD), Direktur Keuangan PT Petro Energy
Mereka telah ditahan sejak Maret 2025 sebagai bagian dari upaya KPK memberantas tindak pidana korupsi terkait kredit fiktif di LPEI.
Kasus ini menjadi sorotan karena melibatkan dana negara dalam jumlah besar, dugaan persekongkolan pejabat, dan pemanfaatan fasilitas kredit untuk kepentingan pribadi, sehingga penegakan hukum diharapkan menjadi peringatan bagi seluruh lembaga pembiayaan negara.
