Jakarta, HarianJabar.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi memperpanjang masa penahanan terhadap empat tersangka kasus dugaan korupsi berupa pemerasan dalam pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).
Perpanjangan penahanan tahap kedua ini berlaku selama 40 hari ke depan terhadap empat tersangka, yaitu:
- Putri Citra Wahyoe (PCW), mantan Staf Direktorat PPTKA Kemnaker periode 2019–2024
- Gatot Widiartono (GTW), mantan Koordinator Analisis dan Pengendalian TKA periode 2021–2025
- Alfa Eshad (ALF), mantan Staf Direktorat PPTKA Kemnaker periode 2019–2024
- Jamal Shodiqin (JMS), mantan Staf Direktorat PPTKA Kemnaker periode 2019–2024
Keempatnya sebelumnya mulai ditahan pada Kamis (24/7/2025).
“Perpanjangan penahanan kedua untuk 40 hari ke depan terhadap empat tersangka,” kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, kepada awak media di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (16/10/2025).
Fokus Penelusuran Aset Hasil Korupsi
Budi menjelaskan, penyidik KPK masih fokus menelusuri aset-aset yang diduga dibeli menggunakan uang hasil pemerasan dalam pengurusan RPTKA.
“Masih fokus untuk menelusuri aset-aset yang diduga merupakan hasil dari tindak pemerasan RPTKA ini,” ujarnya.
Sebelumnya, KPK telah menyita 44 bidang tanah di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, yang diduga kuat terkait dengan hasil tindak pidana korupsi dalam perkara ini.
“Dalam perkara ini, KPK sebelumnya juga telah melakukan penyitaan terhadap 26 aset bidang tanah, sehingga total ada 44 bidang tanah yang sudah disita di Karanganyar,” ujar Budi Prasetyo.
Aset tersebut diduga dikelola oleh tersangka Jamal Shodiqin atas nama Haryanto (HY), yang merupakan Dirjen Binapenta dan PKK periode 2024–2025 dan juga telah ditetapkan sebagai tersangka.
“Aset-aset itu diduga dikelola oleh Saudara JS dari Saudara H yang juga menjadi tersangka dalam perkara ini,” tambah Budi.
Ironi Korupsi di Sektor Ketenagakerjaan
Budi menilai, banyaknya aset yang disita menjadi ironi besar, mengingat praktik korupsi ini terjadi di sektor ketenagakerjaan yang seharusnya berorientasi pada kesejahteraan pekerja.
“Dari banyaknya jumlah aset yang disita sebanyak 44 bidang tanah, tentu ini menjadi ironi. Aset-aset itu diperoleh dari tindak pidana korupsi di sektor ketenagakerjaan, sementara banyak pekerja harus menabung sedikit demi sedikit untuk membeli rumah atau tanah,” tuturnya.

Delapan Tersangka dan Aliran Dana Rp53,7 Miliar
Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan delapan tersangka dengan total aliran dana mencapai Rp53,7 miliar selama periode 2019–2024. Mereka adalah:
- Haryanto (HY) – Dirjen Binapenta dan PKK periode 2024–2025, Rp18 miliar
- Putri Citra Wahyoe (PCW) – Staf Direktorat PPTKA periode 2019–2024, Rp13,9 miliar
- Gatot Widiartono (GTW) – Koordinator Analisis dan Pengendalian TKA periode 2021–2025, Rp6,3 miliar
- Devi Anggraeni (DA) – Direktur PPTKA periode 2024–2025, Rp2,3 miliar
- Alfa Eshad (ALF) – Staf Direktorat PPTKA periode 2019–2024, Rp1,8 miliar
- Jamal Shodiqin (JMS) – Staf Direktorat PPTKA periode 2019–2024, Rp1,1 miliar
- Wisnu Pramono (WP) – Direktur PPTKA periode 2017–2019, Rp580 juta
- Suhartono (SH) – Dirjen Binapenta dan PKK periode 2020–2023, Rp460 juta
Selain itu, terdapat aliran dana tambahan sebesar Rp8,94 miliar yang dibagikan kepada sekitar 85 pegawai Direktorat PPTKA dalam bentuk uang dua mingguan. Dana tersebut juga digunakan untuk kepentingan pribadi, termasuk pembelian aset atas nama individu dan keluarga para tersangka.
Modus Korupsi Sistematis dan Terorganisir
Kasus ini menunjukkan adanya praktik korupsi sistematis dan terstruktur dalam pengurusan RPTKA—dokumen penting bagi perusahaan yang ingin mempekerjakan tenaga kerja asing di Indonesia.
Modus operandi yang terungkap antara lain berupa pungutan liar berjenjang, di mana permohonan RPTKA hanya akan diproses jika pemohon menyetorkan sejumlah uang. Bila tidak, berkas sengaja diperlambat atau bahkan diabaikan.
Baca Juga:
toyota raih primaniyarta lifetime award
Selain itu, penjadwalan wawancara daring melalui platform seperti Skype dikendalikan secara manual, hanya diberikan kepada pemohon yang telah melakukan setoran.
Penundaan penerbitan RPTKA juga menimbulkan denda hingga Rp1 juta per hari bagi perusahaan, sehingga memperkuat tekanan bagi pihak pemohon untuk “membayar demi kelancaran.”
Para pejabat tinggi seperti Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, dan Devi Anggraeni diduga menjadi pengendali sistem pungutan ini, dengan memerintahkan staf lapangan seperti Putri Citra Wahyoe, Alfa Eshad, dan Jamal Shodiqin untuk menagih uang kepada para pemohon.
Dana hasil pungutan kemudian dibagikan secara rutin kepada pegawai dan digunakan untuk berbagai keperluan pribadi, mulai dari jamuan makan malam hingga pembelian aset properti.
