Jakarta, HarianJabar.com — Pengamat Hukum Pidana Universitas Bina Nusantara (Binus), Ahmad Sofian, menilai praktik “jatah preman” atau japrem yang terungkap dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Gubernur Riau Abdul Wahid bukanlah fenomena baru. Menurutnya, praktik setoran kepada kepala daerah atas proyek-proyek pemerintah sudah lama mengakar dalam sistem birokrasi daerah.
“Pemberian upeti kepada kepala daerah atas proyek-proyek pusat yang diadakan di dinas-dinas bukan hal baru. Hampir merata terjadi di daerah-daerah di Indonesia. Hanya saja, tanpa OTT, hal ini sangat sulit dibuktikan,” ujar Ahmad saat dihubungi, Rabu (5/11/2025).
OTT Gubernur Riau dan 9 Pejabat Lainnya
KPK sebelumnya melakukan OTT terhadap Gubernur Riau Abdul Wahid dan sembilan pejabat lainnya. Mereka diduga terlibat dalam pemerasan dan penerimaan setoran japrem dari proyek-proyek yang dikelola Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR).
Dalam operasi itu, penyidik KPK menyita uang tunai senilai Rp1,6 miliar dalam berbagai mata uang—rupiah, dolar Amerika Serikat, dan poundsterling.
“Barang bukti berupa uang dalam bentuk rupiah, dolar, dan poundsterling senilai sekitar Rp1,6 miliar kami amankan,” kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, di Jakarta.
Budi menjelaskan, setoran tersebut merupakan bagian dari modifikasi sistem upeti proyek, di mana sebagian dana anggaran proyek disisihkan sebagai “jatah preman” bagi kepala daerah.
“Terkait penambahan anggaran di Dinas PUPR, kemudian ada japrem sekian persen untuk kepala daerah. Itu modus-modus yang kami temukan,” ujarnya.
Ahmad Sofian: Sudah Jadi Rahasia Umum
Ahmad Sofian menegaskan bahwa pola japrem ini telah menjadi rahasia umum di kalangan birokrasi daerah. Ia menyebut, bahkan tanpa tekanan atau pemerasan sekalipun, sejumlah kepala dinas secara sukarela menyetorkan “jatah” kepada kepala daerah, karena sudah menjadi budaya kekuasaan.
“Kalau KPK menyebutnya pemerasan, namun tanpa diperas pun kepala dinas akan menyetorkan. Cukup dengan kode saja. Jika tidak diberikan, bisa-bisa dicopot,” ujarnya.
Ia menilai, aparat penegak hukum lain seperti kejaksaan sebenarnya dapat lebih proaktif mengungkap praktik seperti ini tanpa harus menunggu OTT KPK.

“Kasus seperti ini sudah di depan mata. Tinggal seberapa serius intelejen kejaksaan melakukan operasi dan investigasi,” katanya.
OTT Bukan Solusi Permanen
Menurut Ahmad, operasi tangkap tangan hanya memberikan efek jera sementara, tanpa menyentuh akar persoalan korupsi di daerah. Ia menilai perlu pengawasan struktural yang lebih ketat terhadap sektor-sektor rawan penyimpangan, terutama di dinas teknis seperti PUPR yang mengelola dana infrastruktur besar dari pemerintah pusat.
“Dinas PUPR ini paling banyak menerima dana pusat. Maka dari itu, setelah OTT, jaksa harus awasi setiap gerak-gerik kepala dinas, kontraktor, subkontraktor, dan kepala daerah,” tegasnya.
Budaya Setoran di Daerah
Praktik setoran proyek atau japrem, menurut Ahmad, sudah menjadi bentuk “korupsi sistemik” yang melekat dalam hubungan antara kepala daerah dan perangkat dinas. Ketergantungan jabatan serta mekanisme politik lokal membuat pejabat bawahan merasa perlu memberikan “loyalitas finansial” agar posisinya aman.
Kondisi ini, katanya, hanya bisa diberantas melalui reformasi sistem rekrutmen pejabat, penguatan pengawasan internal, serta pemberdayaan masyarakat sipil untuk ikut mengontrol penggunaan anggaran daerah.
KPK Diminta Ungkap Semua Jaringan
Kasus OTT Gubernur Riau ini terus dikembangkan. Sejumlah pihak, termasuk dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)—partai tempat Abdul Wahid bernaung—mendorong KPK untuk mengusut seluruh pihak yang terlibat, baik pejabat dinas maupun kontraktor pelaksana proyek.
KPK menyatakan masih melakukan pendalaman terhadap aliran dana dan kemungkinan keterlibatan pihak lain di lingkup pemerintah daerah.
